Masyarakat adat di Kusang Syuglue Woi Yansu adalah orang-orang yang berasal dari sepuluh suku (marga) yang bermukim di sebentang tanah yang disebut Yansu. Kesepuluh suku itu adalah Mess, Nian, Elli, Mebri, Tabisu, Udam, Tegai, Samon, Yansip, Tapatkeding. Wilayah Yansu membentang dari Sungai Nembu di sebelah barat sampai ke Sungai Klang di sebelah timur, juga dari dataran Samkimdun tepi sungai Nembu sampai ke Bsob Wabu di sebelah utara hingga Sungai Yagui, Sungai Siyagui, dan Sungai Gou di sebelah selatan. Kesepuluh suku (marga) ini hidup berdampingan dan saling berinteraksi secara internal maupun eksternal kelompok mereka yakni dengan suku-suku lain di sekitarnya. Di masa lalu, masyarakat adat di Kusang Syuglue Woi Yansu mencari makan dengan cara menokok Dwotswa (sagu), meramu hasil hutan, berburu, dan mencari ikan di sungai.
Masyarakat adat di Kusang Syuglue Woi Yansu percaya bahwa leluhur mereka diciptakan oleh alam. Dikisahkan mula-mula masyarakat adat di Kusang Syuglue Woi Yansu hidup melewati dua fase: pertama, tercipta sebagai manusia yang belum sempurna yang terjadi di Kemim, dan kedua, menjadi manusia sempurna yang terjadi di Yansu.
Mereka juga meyakini “Woi Iram” sebagai dewa/tuhan pencipta alam semesta dengan simbol matahari. Mereka percaya “Woi Iram” selalu dapat melihat mereka pada siang dan malam hari. Kepercayaan itu berkembang dalam bentuk penyembahan dan ritual-ritual ke matahari. Konsep “Woi Iram” lantas dimanifestasikan ke dalam sistem kepemimpinan tradisional di mana pemimpin suku disebut sebagai “Iram”. Iram dimaknai sebagai “Orang yang berkedudukan paling tinggi, dan di atasnya hanya ada Woi Iram”.
Sejarah dan Pembentukan Struktur Adat
Dikisahkan di masa lalu, pada saat berkembang pemukiman di area dataran dan perbukitan di dekat sungai Bgitt’bu, Pon, Sgyut, dan Swensi yang disebut sebagai Kemim. Masyarakat adat saat itu dipimpin oleh seorang Iram bernama Wadiram yang mengontrol seluruh tanah adat.
Pada saat itu, kepemimpinan Wadiram dirasa tidak dapat menjawab kebutuhan masyarakat adat. Oleh karena itu, perwakilan dari masing-masing suku berkumpul untuk bermusyawarah mencari pemimpin baru mereka dalam sebuah Dumtru di sebuah tempat yang disebut dengan Hyawey atau Kampung Wey. Diputuskanlah beberapa hal penting terkait hal tersebut. Pertama, pembentukan lima struktural pemangku adat di tingkat suku yaitu Trang, Digno, Tegai, Bemey, dan Srom yang memiliki peran masing-masing dan diangkat berdasarkan urutan garis keturunan. Kedua, peran pemimpin dan pelindung masyarakat adat berpindah dari anak tersulung (Trang) ke anak kedua (Digno).
Setelah disepakati struktur dan mekanisme adat yang baru pelantikan pemimpin masyarakat adat dari 10 suku yang ada dilakukan. Pelantikan tersebut membuahkan beberapa hal yakni Wey Digno yang memimpin Hya Wey, Klitemung Digno, Iwon Digno, Busungay Digno, Yansu Digno, Ibub Digno, Sawoi Digno, Yanim Digno, Swayab Digno, dan Tabangkuwari Digno. Selain itu, pada saat itu disepakati pula struktural pemangku dari saudara-saudara Digno yang dilantik. Masing-masing Digno diberi mandat untuk melantik pimpinan dari suku-suku lain yang belum dilantik sebagai Digno.
Sejarah Pelantikan Pemimpin Adat
Diceritakan pergilah 5 Digno (Ibub, Yansu, Sawoi, Yanim dan Swayab) menuju ke arah timur sampai ke Yansu untuk melaksanakan Ulap/Siblung atau ritual pesta adat untuk pelantikan Iram yaitu Digno beserta keempat struktural lainnya secara lengkap. Turut ikut pula beberapa orang/pihak yang ditugaskan untuk menjadi pelaksana acara (panitia) yaitu Me Iram dari suku/marga Elly beserta para pembantunya. Pelantikan kelima struktur adat itu dilakukan melalui keputusan musyawarah adat dan disimbolkan dengan penyerahan harta budaya yaitu Nembu Kdong (daging babi), Naning (makanan tradisional), Siapu (Ubi Jalar), Uda (Tomako Batu), Ngoy (Manik-manik), dan Samon (Gelang Batu).
Pada saat agenda Ulap/Siblung itu berjalan, terjadi sebuah dinamika dalam menentukan Iram/Pemimpin dari lima Digno yang baru diangkat di Hya Wey. Oleh karena proses politik yang alot, pemilihan Iram/Pemimpin dari lima Digno batal dilakukan. Setelah itu, Me Iram mendelegasikan 5 struktur adat dari 5 kampung/Hnya itu untuk membentuk dan mengukuhkan lima struktur adat ke suku-suku lain yang tidak hadir di Hya Wey.
Bergabungnya Sepuluh Marga dalam Satu Wilayah Adat
Masyarakat adat setempat tidak bersedia menceritakan sejarah bergabungnya kesepuluh marga dalam satu wilayah adat dan siapa yang memiliki hak tenurial terbesar diantara mereka dipublikasikan ke publik. Sebab ada kepercayaan dalam kosmologi mereka jika cerita ini disebarluaskan ke publik maka sesuatu yang buruk akan terjadi kepada mereka. Namun secara umum kesepuluh marga ini bergabung karena adanya dinamika yang terjadi fluktuasi diantara mereka, lantas mereka bersepakat untuk mengidentifikasi diri sebagai satuan wilayah adat dengan sepuluh marga sebagai pengampu hak dasar karena ada relasi kultural yang dan kebudayaan yang dekat serta hubungan kekerabatan dan kawin mawin diantara mereka.
Sejarah Masuk dan Diterimanya Injil
Pada tahun 1923-1924 pekabaran Injil masuk di wilayah Nimboran (Genyem) melalui dua orang misionaris dari UVZ yang bernama Bijkerk dan Schneider yang ditemani oleh seorang rekan kerja dari Sarmi yang bernama De Naff. Masuknya Injil di Nimboran menyebar sampai ke wilayah Kusang Syuglue Woi Yansu dan berdampak pada perubahan sosial kebudayaan pada masyarakat. Salah satu dampak dari masuknya para misionaris tersebut yakni peralihan kepercayaan dari Woi Iram kepada Yesus sebagai juru selamat. Perubahan tersebut terjadi karena para tokoh adat percaya bahwa ajaran agama Kristen dengan 10 hukum/perintah Allah-nya sama dengan apa yang diajarkan oleh para leluhur. Seiring dengan perjalanan tersebut pemeluk agama kristen semakin berkembang dan membuat masyarakat di Wilayah Kusang Syuglue Woi Yansu menerima pembatisan.
Pengaruh Belanda
Pada zaman pemerintahan Belanda pada tahun 1898-1962 pemerintah Belanda membentuk Nederlandsch Nieuw Guinea (Papua). Pada 10 Mei 1952 Gubernur van Waardenburg mengadakan perubahan dalam pembagian wilayah menjadi 4 wilayah afdeeling dengan 20 wilayah onderafdeeling. Pembentukan onderafdeeling dilakukan oleh Belanda atas asumsi kesamaan budaya. Salah satu onderafdeeling yang dibentuk adalah onderafdeeling Nimboran. Di tahun 1927, pemerintah Belanda melakukan pendekatan dengan masyarakat adat yang ketika itu masih tinggal dan bermukim secara terpencar menurut asal-usul keluarga, kekerabatan dan klan. Pemerintah Hindia Belanda melalui petugas Distrik dan Polisi Landschap (landschap politie) mulai mengumpulkan masyarakat adat untuk membangun tempat pemukiman baru. Hal ini untuk memberikan kemudahan bagi pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi dan menjalankan sensus penduduk dan mengatur masyarakat dalam memberikan pelayanan. Pemerintah Hindia Belanda melalui sistem pemerintahannya mulai menunjuk perwakilan di tiap Kampung yang dianggap mempunyai kecakapan dalam bahasa melayu untuk menjadi Korano atau Kepala Kampung administratif. Di tahun 1961 wilayah administrasi NNG dibagi menjadi 6 wilayah afdeeling onderafdeeling Nimboran berada dibawah Afdeling Hollandia. Yansu merupakan bagian dari pemerintahan Onderafdeeling Nimboran yang kemudian dibagi lagi kedalam beberapa District yang dikepalai oleh Districthoofd atau Bestuur.
Pada masa transisi masuknya pemerintah Indonesia terjadi peristiwa memilukan bagi masyarakat adat di masa itu. Pada masa peralihan kekuasaan tersebut dari berbagai hasil wawancara para tokoh adat menyampaikan bahwa pada masa itu banyak diantara mereka yang mengalami kekerasan fisik dan psikis, hingga terjadi gejolak politik yang menyebabkan terjadinya operasi militer besar-besaran yang dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM) Papua. Pada tahun 1960-an hingga 1980-an banyak perkampungan dibakar, dan dipaksa untuk menerima pemerintah Indonesia, operasi militer berlangsung sangat lama, ada banyak Kampung yang digabung menjadi satu desa dan ada pula perkampungan baru yang dibangun pemerintah bersama militer. Peristiwa tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang lari ke hutan, dan sebagian lainnya mencari suaka di Papua Nugini (PNG) dan mengungsi ke luar negeri. Imbasnya sebagian besar Masyarakat Adat Kusang Syuglue Woi Yansu diberikan stigma terlibat dalam organisasi perjuangan Papua Merdeka (OPM) sehingga mengalami kekerasan pada masa tersebut. Pada akhir tahun 1980-an banyak masyarakat adat yang mulai keluar dari hutan dan membangun perkampungan.
Land Grabbing
Di periode yang sama yakni di tahun 1980-an terjadi land grabbing terhadap hak-hak tenurial masyarakat setempat. PT Yulem Sari, perusahaan kayu lapis dari Korea Selatan meminta izin ke kepala suku untuk mengambil sedikit pohon-pohon untuk membuka kebun dan cam ke kepala suku. Mereka lantas mulai beroperasi tahun 1984. Sang kepala suku mengizinkan karena yang dibutuhkan cuma lahan dalam jumlah sedikit, lantas di sana dibangun jalan dengan bantuan militer, yang juga berperan sebagai mandor proyek. Akan tetapi kesepakatan tersebut dilanggar. Kayu yang diambil meluas hingga menyebabkan beberapa kayu seperti Merbau (bahan pembuat rumah di sana) punah dan longsor terjadi dalam waktu 1 tahun perusahaan beroperasi. Sementara itu warga lokal hanya dibayar per kubik kayu dan dijadikan tenaga harian pengangkut dan pemotong kayu, padahal mereka merasa bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah adatnya. Akhirnya orang-orang di sana pun melawan dan perusahaan bisa keluar setelah setahun beroperasi.
Pembangunan sarana infrastruktur di masa pemerintahan Republik Indonesia baru mulai dirasakan pada tahun 1990-an sampai tahun 2000-an. Sejak pemerintah daerah Kabupaten Jayapura dimekarkan dan dipindahkan Ibukotanya di Sentani, pembangunan mulai dinikmati oleh masyarakat yang berada di Syuglue Woi Yansu, seperti adanya pembangunan jalan, jembatan, dan pusat sarana infrastruktur umum lainnya. Lahirnya UU Desa No.6 tahun 2014 memberikan harapan akan pembangunan yang berada di Kampung, walaupun perubahannya masih banyak belum sesuai harapan, namun secara bertahap pembangunan mulai semakin dirasakan oleh masyarakat.
Terciptanya struktur-struktur pemerintahan baru yang modern ini tetap tidak menghilangkan peran struktur lama. Buktinya alih tangan lahan masih harus menggunakan medium trang. Artinya jika ada transaksi lahan di dalam marga, maka trang harus mengadakan rapat adat bersama masyarakatnya terlebih dahulu untuk meminta persetujuan. Dengan demikian struktur tradisional yang sudah eksis sebelum kedatangan struktur modern seperti kampung dan negara masih eksis hingga sekarang.
|