PEMKAB Jayapura mengeluarkan PERDA Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat
Pada bulan April tahun 2022, Pemerintah Kabupaten Jayapura bersama DPRD membahas 8 Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kabupaten Jayapura. Tiga dari 8 Raperda tersebut diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura dan salah satu Raperda yakni Raperda Nomor 8 tahun 2021 yang merupakan Raperda tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat.
Raperda tersebut dibuat sebagai perubahan dari Perda Nomor 8 tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat. Perda tersebut belum tertuang beberapa hal penting. Oleh sebab itu, hal-hal yang dianggap penting namun belum diakomodir dalam Perda tersebut dituangkan Raperda nomor 8 tahun 2021.
Pembahasan Raperda oleh DPRD
Raperda tersebut dibahas oleh DPRD kabupaten Jayapura pada hari Kamis (29/4/2021). Raperda ini sendiri awalnya disusun oleh oleh tim Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) Kabupaten Jayapura. Ia dibuat untuk mengakomodir aspirasi masyarakat adat di Kabupaten Jayapura.
“Perda ini disusun untuk mengakomodir aspirasi Masyarakat Hukum Adat, bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat harus diakui oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menjamin kepastian hukum atas sumber kekayaan alam dan wilayah yang dimiliki masyarakat adat, ” ujar ketua harian GTMA Bernard Urbinas.
Raperda Ditetapkan Menjadi Perda
Selang sehari kemudian yakni pada tanggal 30 Desember 2021, Pemerintah Kabupaten Jayapura telah Menetapkan Perda Nomor 8 tahun 2021 Tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat. Penetapan ini ditandatangani oleh Bupati Kabupaten Jayapura Matius Awoitauw.
Beberapa poin penting yang belum terakomodir dalam Perda Nomor 8 Tahun 2018 dimasukan ke dalam Perda Nomor 8 tahun 2021 tentang, Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Poin-poin yang dimasukan dalam Perda ini antara lain: menegaskan sejumlah wilayah adat suku di kabupaten jayapura, menetapkan Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) sebagai lembaga non-pemerintah yang bertanggung jawab untuk memastikan keberadaan masyarakat adat, mengakomodir kepentingan masyarakat adat, menegaskan batas-batas wilayah adat suku, marga, keret, atau tang dimana GTMA bertanggung Jawab untuk memastikan batas-batas tersebut sebagai lembaga yang memfasilitasi pemetaan, mengakomodir kepentingan disabilitas agar memiliki hak yang sama dalam pengelolaan wilayah adat dan terlibat dalam pemberdayaan maupun pembangunan dimasa depan, mengatur Hak perempuan adat dan terlibat dalam setiap pembangunan yang ada, mempertegas hak atas tanah sebagai wilayah masyarakat adat.
Lampiran-Lampiran dalam Perda
Dalam perda tersebut juga terdapat beberapa lampiran diantaranya lampiran I yang mengidentifikasi nama-nama marga serta wilayah adat suku yang ada di kabupaten jayapura, dari hasil pemetaan yang dilakukan ada 728 Marga, 14 wilayah adat suku, 139 Kampung, 5 kelurahan dan 19 distrik.
Lantas, Lampiran II memuat peta wilayah adat sekaligus nama tempat dan tanda alam sebagai titik batas wilayah adat suku yang bersebelahan.
Perda tersebut juga mengidentifikasi nama-nama marga serta wilayah adat suku yang berada di Kabupaten Jayapura. Berdasarkan hasil hasil pemetaan spasial dan sosial yang tertuang dalam Perda, tercatat ada 728 Marga, 14 wilayah Adat Suku,139 Kampung, 5 kelurahan dan 19 distrik yang diakui sebagai wilayah adat dengan tanda alam sebagai batasnya.
Kerjasama Multipihak
Pemetaan partisipatif secara sosial dan spasial ini bisa terlaksana berkat kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Jayapura,akademisi dalam hal ini UNCEN, GTMA dan mitra non-pemerintah lainnya yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti BRWA, JKPP, AMAN, WRI Indonesia, FOKER LSM PAPUA, PT. PPMA, ECONUSA, dan Samdhana.
BACA JUGA : Cahaya dari Serambi Mekkah : Pengakuan Wilayah Adat Mukim di Kabupaten Aceh Besar
Harapan Pasca Perda
Bernard Urbinas selaku ketua GTMA berharap dengan dikeluarkannya Perda masyarakat adat bisa semakin berdaya dan mengenal jati dirinya sebagai sebuah komunitas yang hidup di atas tanah dengan sistem sosial kekerabatan yang berlandaskan adat. “semoga perda ini bisa menjadi sarana masyarakat adat untuk lebih mengenal jati dirinya dan sarana penyelesaian konflik agar hubungan-hubungan sosial yang harmonis bisa terlaksana,” tegasnya.