Konsep masyarakat adat atau juga disebut dengan masyarakat hukum adat telah dikembangkan oleh sarjana-sarjana hukum dan ilmu sosial sejak pada masa kolonial Belanda. Masyarakat adat sendiri adalah konsep untuk menunjuk komunitas-komunitas adat (adat rechtsgemeenschappen) yang merupakan bagian terbesar dari populasi Hindia Belanda pada masa itu.
Antropologi dan sosiologi sangat berkontribusi membangun konsep masyarakat adat. Dua bidang ilmu ini menjelaskan bahwa masyarakat adat atau masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschappen) berakar dari pengertian komunitas (gemeinschaft) yang membedakannya dengan masyarakat dalam artian society (Gessellschaft).
Gemeinschaft sendiri diartikan sebagai komunitas alamiah yang tumbuh dari hubungan organis antara manusia dengan lingkungannya, yang mempunyai ikatan sukarela antar manusia dan kelompok. Sedangkan Gesellschaft adalah kelompok masyarakat artifisial yang terikat dengan kesadaran dan persamaan tujuan.(Sasmita, 2016).
Dalam pengertian hukum, Ter Haar menyebutkan bahwa Gemeinschaft tidak otomatis menjadi persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen), jika belum memenuhi kriteria sebagai entitas hukum. Persekutuan hukum sendiri disebutkan sebagai “golongan-golongan yang mempunyai tata-susunan yang tetap dan kekal, dan orang yang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. “
Ter Haar juga menyebutkan bahwa “tidak sekalipun dari mereka mempunyai pikiran akan memungkinkan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan harta benda, milik keduniaan dan alam gaib.” Gemeinschaft dalam pengertian ini adalah konsep untuk membantu menjelaskan masyarakat adat (adat rechtsgemeenscappen) sebagai persekutuan-persekutuan hukum yang berbasis pada adat.
Selanjutnya, pengertian Persekutuan hukum oleh J.F. Holleman dimaknai sebagai unit sosial terorganisir dari masyarakat pribumi, yang mempunyai pengaturan khusus dan otonom atas kehidupan masyarakatnya karena dua faktor, yaitu; pertama, adanya representasi otoritas lokal (kepemimpinan adat) yang khusus, dan kedua, adanya kekayaan komunal, utamanya tanah, yang memungkinkan komunitas tersebut menjalankan pengaturannya, (Savitri dan Uliyah, 2014).
Ciri Pokok
Kekayaan komunal dan otoritas khusus yang otonom adalah ciri pokok persekutuan masyarakat adat, yaitu semacam kedaulatan atas wilayah adat, yang lazim disebut juga dengan beschikkingsrecht atau hak ulayat. Hak ulayat adalah otoritas masyarakat adat atas sumber kekayaan komunal.
Otoritas yang dimiliki oleh masyarakat adat ini adalah unsur penting tentang masyarakat adat sebagai pengampu hukum adat. Cornelis Van Vallenhoven menyebutkan bahwa masyarakat adat memproduksi dan menjalankan hukum adat ini dalam wilayah tertentu, yang oleh Van Vallenhoven diklasifikasikan ke dalam sembilan belas wilayah berlakunya hukum adat (rechtskringen).
Perlu dipahami juga bahwa Rechtskringen tidaklah wilayah persekutuan hukum masyarakat adat, namun adalah semcama wilayah kebudayaan. Oleh sebab itu, Rechtskrigen tidak memiliki unsur sebagai persekutuan hukum masyarakat adat (adat rechtsgemeenscappen), namun mirip dengan pemaknaan wilayah persebaran kebudayaan (Kulturkreise).
Dalam konteks ini, Rechtskringen tak mempunyai suatu sistem pengaturan yang memiliki otoritas wilayah adat, sehingga sulit untuk dijadikan objek pengakuan hukum. Contoh dari persekutuan masyarakat adat adalah nagari yang mempunyai hak ulayat, bukan pada wilayah lingkaran hukum adat Minangkabau (Zakaria, 2016).
Selain itu, Masyarakat adat secara khusus mempunyai susunan dan corak yang terbagi dari tiga kelompok, yaitu geneologis, territorial dan campuran (geneologis-teritorial). Susunan masyarakat adat juga ada yang bersifat fungsional.
Masyarakat adat yang bersifat fungsional ini disebutkan secara khusus oleh Mahmakah Konstitusi dalam Putusan MK N0.35/PUU-X/2012. Oleh Mahkamah Konstitusi, golongan masyarakat (hukum) adat yang bersifat fungsional adalah masyarakat adat yang tidak digolongkan dalam tiga golongan klasik diatas.
Masyarakat Adat bersifat fungsional belum mempunyai definisi baku dan detil namun di analogikan seperti sistem irigasi subak di Bali, yaitu komunitas yang terikat pada fungsi-fungsi khusus sekaligus tradisional. Fungsi-fungsi khusus tersebut menyangkut kepentingan bersama yang mempersatukan, dan tak bergantung pada hubungan darah ataupun wilayah (Savitri dan Uliyah, 2014).
Konsep masyarakat adat adalah konsep yang menjelaskan unit-unit sosial masyarakat adat sebagai persatuan hukum. Unit-unit sosial ini semacam elemen dasar struktur budaya, hukum, dan sosial masyarakat adat dalam konteks etnisitas, budaya dan hukum.
Subjek Hukum
Saat ini, pengertian masyarakat adat atau masyarakat hukum adat telah dikonstruksi sebagai salah satu subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban, terutama setelah disebutkan secara eksplisit dalam pelbagai peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan, khususnya Mahkamah Konstitusi (Arizona; 2103, Firmansyah; 2012, Savitri; 2014, Simarmata; 2015, Rachman; 2014, Zakaria;2016 ).
Namun, pelaksanaan masyarakat adat sebagai subjek hukum ini mengalami kendala akibat adanya prasyarat hukum (conditionalities). Prasyarat itu adalah mesti adanya pengakuan legal oleh Negara, yang dalam skema hukum hari ini dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah melalui aturan daerah. Prasyarat ini memberatkan bagi komunitas-komunitas adat karena harus bertarung dalam proses politik legislasi daerah untuk pengakuan masyarakat adat, terutama bagi komunitas adat yang minoritas secara populasi dan politik.
Demikianlah, masyarakat adat adalah komunitas-komunitas adat yang hidup secara sosial, namun masih berjuang sebagai entitas subjek hukum. Dalam konteks ini, masyarakat adat masih mengalami kerentanan dalam ranah hukum karena adanya prasyarat pengakuan, yang berakibat pada lemahnya perlindungan hak-hak mereka, terutama hak atas wilayah adat (hak ulayat).
Sumber : Geotimes.id